Challenge Part 1 : Kornel In Action











Agriman, Reportase Investigasi : Tahu


Kami Menyebutnya Kornel

Sudah nyaris satu jam kami berkeliaran di komplek perumahan Budi Anduk, maksud saya Budi Agung. Irfan sibuk mencoba menghubunginya melalui pesawat telefon, sedangkan saya menyetir kesana kemari tanpa adanya alamat jelas. Indikator bensin sudah mendekati huruf 'E' padahal ketika memasuki komplek tersebut indikator menunjukkan masih ada setengah. Berbagai sumpah serapah kami lontarkan di dalam mobil, mulai dari "anjir", "kunyuk", "selangkangan domba", hingga "saus tartar!". Kami sempat beranggapan bahwa ia tengah berada di atap rumahnya sedang mengamati kami yang justru tengah mencarinya dan dengan mukanya yang bengis ia terbahak-bahak melihat kami, sambil berteriak "pecundang!". Tak lupa ia membuka bajunya dan selebrasi barbarian layaknya suku primitif Uganda. Yah, itu yang kami bayangkan akan sosoknya sekarang ini.

Putus asa, kami meminggirkan mobil sejenak. Irfan masih berusaha menghubungi siapapun yang sekiranya mengetahui alamat rumahnya. Saya memainkan resleting celana, naik-turun-naik dan dibiarkan turun beberapa waktu lamanya siapa tahu akan datang petunjuk arah. Kami seketika teringat bahwa ia memiliki orangtua dan orang tuanya pun memiliki nama. Kami terlalu terbiasa menganggap ia lahir dari batu ginjal. Sialnya, kami lupa nama orang tuanya. Nama orangtua pada umumnya diketahui oleh temen SD-SMP, bagaimana tidak, dimasa-masa sembilan tahun melewati SD hingga SMP pasti dilewati hari-hari dimana Anda mengejek teman Anda dengan nama orangtuanya, atau Anda yang diejek. Se-simple itu namun kadang lebih membekas, hingga kini pun saya tak tahu siapa nama asli dari temen saya yang saya panggil Supriyanto atau Yansen karena ternyata nama itu adalah nama ayahnya. Atau marga teman saya yang bernama Subabiyot, dan sumpah saya tak berbohong! Marga itu ada!

Ide brilian Irfan keluar. "Bagaimana kalau kita sebutin aja ciri-ciri anaknya ke satpam!"

Hening, kita terhening. Saya main resleting lagi.

Brilian, pikir saya. "Bagaimana kalau kita sebutin saja ciri-ciri anaknya ke satpam!" sahut saya dengan merasa benar dan ditanggapi histeris oleh Irfan. Teringat suatu lelucon bodoh yang sempat saya lontarkan sebelum kami memasuki komplek perumahan ini nampaknya akan membuahkan hasil.

"Lu lihat aja dari muka temen kita ini, lu sebutin ciri-cirinya saja pasti warga satu komplek Budi Agung tahu! Tanya cicak sekalipun, kita bakal dituntun sampai kedepan pager rumahnya!" canda saya setelah kami memasuki komplek Budi Agung kurang lebih satu jam yang lalu.

Lalu benar saja, Irfan memberanikan diri bertanya kepada satpam yang berada tak jauh dari posisi kami.
"Pak, kita lagi nyari rumah temen kita tapi kita gak tahu alamatnya, tapi kita punya ciri-ciri anaknya: Rambutnya keriting, kulitnya hitam, pake kacamata besar dan tebal, bibirnya tebal,..."
"Oh, anaknya Pak Dasmansyah!" potong si satpam diiringi sedikit tertawa mendengarkan ciri-ciri seseorang yang menurutnya mustahil bertahan hidup dan hanya akan ada kembali ketika sangkakala ditiupkan.
"Iya! Iya, pak! Itu hewan melatanya! Itu teman kami!" sahut Irfan dalam hatinya yang terdalam.

Kami sampai ke rumahnya dengan muka kecut dan celurit di tangan kanan. Mendengar kegaduhan suara mesin mobil ia membuka pintu dengan tampang tiada berdosa seakan kami sampai tepat waktu. Ia tersenyum, iyah, tersenyum! Satpam yang memberi kami petunjuk jalan lalu lewat untuk memastikan benar rumah ini yang kami cari-cari.

"Pak terima kasih pak! Bener nih rumahnya kok. Ini nih yang kita cari-cari, namanya Cornell!" kata saya sembari menunjuk teman saya.

Iyah, namanya Cornell.

      ---------------------------------------------------------------------------------------------------

Bagaikan mitos rakyat yang menjadi nyata.

Ia pernah mengeluarkan senapan listrik yang biasa digunakan polisi disaat kita hendak menggeseknya ke tiang, ia pernah mendapatkan pesan 'Selamat Hari Natal' dari lembaga keagamaan kristen walaupun ia islam, ia pernah berurusan dengan ras Tianghoa karena menghina pemilik kios handphone, ia pernah mendekati seorang gadis namun diberi uang receh lima ratus perak karena dikira mengemis, ia pernah mencoba mendekati seorang teman perempuanya namun meninggalkanya setelah mengetahui teman perempuanya berasal dari Lampung, ia pernah bersaksi bahwa ada mal di Bojong Gede yang bernama Indomaret, ia pernah datang kuliah olahraga mengenakan baju bertuliskan 'Jerussalem, Israel' yang membuat semua orang semakin yakin ia seorang yahudi, ia juga pernah mengenakan baju bertuliskan 'Badjingan' dibalik baju muslimnya yang berbahan tipis dengan warna putih. Oh iyah sungguh bajingan.

Iyah, terdengar cukup rasis namun itulah dia, 'Bapak Rasis' kita. Bukan rasis dalam arti penghinaan, namun dalam arti 'Rasis Untuk Tertawa'. Terdengar semakin aneh memang tapi hal berbau rasis memang selalu ditanggapi dingin dan terlalu serius oleh orang kebanyakan. Perbedaan memang ada, apalagi negara ini yang terdiri dari banyak suku dan banyak Jawa. Iyah, saya ulangi, banyak Jawa. Terlalu kaku untuk memandang perbedaan itu sebagai pembatas kita bersenang-senang. Maka Cornell menjadikan pembatas itu untuk bersenang-senang! Ia lihai dalam merubah keterbatasan yang kaku menjadi suatu candaan yang berbobot namun tak menyakiti. Walaupun tak selamanya berjalan lancar dengan orang yang masih kaku akan sukunya.

Rasnya sendiri?
Hanya Tuhan yang tahu.

Geram. Kadang kata ini layak disandingkan denganya. Kadang kami, teman-temanya, geram akan tingkah lakunya. Bahkan tanpa alasan jelas kami geram lihat wajahnya. Mungkin bila ia bertanya "Apa salah gua?" dengan mantap saya akan menjawab "Muka lu salah!". Bersama teman-teman, kami pernah mencoba memukulinya. Entah kesurupan setan apa namun kami hanya ingin memukulinya walau tanpa alasan sekalipun. Kami mulai dengan menyergapnya dari belakang bak polisi profesional. Berikut foto-foto penyergapan Cornell.

Langkah-langkah menangkap Phychantropus Erektus : 1.) Pegang dagunya dari belakang, biarkan ia memberontak hingga lelah
2.) Tarik jenggotnya dengan kencang, biarkan ia kesakitan
3.) Pukul dengan kencang dari dua arah sekaligus, bila ia berteriak itu pertanda ia telah baligh dan siap menghadapi musim kawin


4.) Nikmati pukulan berikutnya dan ajak ia tertawa dalam penderitaanya.
Cornell memiliki hobi diwaktu senggangnya suka memperhatikan wanita dari kejauhan. Menggoda siswi SMA ataupun SMP rasanya sudah lumrah baginya. Biasanya kami akan melewati beberapa perempuan di kampus sambil meneriakan nilai kecantikanya, dengan rasio nila dari 0-10 namun tak jarang kami melakukan penilaian kecantikan hingga mencapai angka -10 untuk orang-orang pilihan. Bukan keinginan hati ingin memberi nilai dibawah standar, namun motto "Cantik itu relatif, jelek itu mutlak!" untuk situasi tertentu kami aplikasikan dengan sangat bijak.
Berikut momen-momen langka kejelian matanya yang tertangkap kamera.



Sebagai seorang temanya yang baik, saya bersimpati atas ketidak inginan perempuan mendekatinya. Maka saya pernah mencoba menjodohkanya dengan kakak saya sendiri. Iyah, kakak saya sendiri. Dalam beberapa kesempatan saya memaksanya mengambil kesempatan seperti mengirimkan pesan "Selamat Hari Lebaran" ke kakak saya dan dimanfaatkanya dengan sempurna. Ia mengirimkan pesanya hingga dua kali, pesan pertama tanpa mencantumkan namanya dan pesan kedua lengkap dengan nama lengkapnya. Ketika ulang tahun kakak saya pun ia bersemangat memberi ucapan selamat hingga menanyakan kepada saya terlebih dahulu "Ucapinya ditelfon apa sms?". Tanggapan dari kakak saya sejauh ini kurang positif, namun sepertinya wanita memang seperti begitu. Cenderung menolak diawal lalu melunak kemudian. Semoga kakak saya kelak akan melunak. Oh, wanita, andai saya pun mengerti apakah wanita itu. Mungkin bila kakak saya melunak suatu hari nanti saya bisa meng-upload foto seperti dibawah ini bila hari raya tiba.


Cornall sendiri sebenarnya adalah pribadi yang unik dan takkan bisa ditebak. Iyah, hanya Tuhan yang dapat menebaknya. Dengan segala ciri khasnya ia menjelma menjadi ikon yang sebenarnya menjual. Bahkan mungkin bila suatu hari nanti saya memiliki brand atau distro saya akan menamainya Cornell. Mudah, semudah itu diingat dan dengan segala ciri khas yang unik. Bahkan dari sekarang saja saya sudah memulai aksi saya menyusupkan Cornell kedalam berbagai karya saya.



Yang bibirnya lagi memonyong di kanan atas gambar
Oke, setelah membaca posting-an sejauh ini, hanya terlihat bahwa saya sedang mempercundangi Cornell. Nyatanya tidak. Selain segala fakta yang sudah dibaca diatas, Cornell sebenarnya adalah pribadi yang berbeda dari teman kelas kuliah, fakultas, bahkan kampus. Disaat orang lain akan berkata "Gak ah, malu.", orang sinting ini akan berkata "Hayu deuh!". Tak ragu ia mencoba hal baru, seperti mengikuti audisi FEM Ambassador yang tak lain adalah ajang pemilihan putra-putri kecantikan fakultas ekonomi di kampus kami. Ia tak mendengar suara orang kanan-kirinya ia hanya mengikuti naluri kebinatanganya. Bahkan ia berani untuk berpindah jurusan dari statistika menjadi ekonomi syariah! Orang-orang mengatakan ia pindah agama, namun yang pasti ia melakukan sesuatu yang berani. Ia pun gigih berjualan pulsa walaupun 'mahasiswa penghutang' dan 'mahasiswa PHP akhir bulan' adalah musuh yang mau tak mau dihadapinya. Ia apatis dengan caranya sendiri namun mencoba aktif dewasa ini. Sekarang ia tengah mengenyam pendidikan ekonomi dan agama sekaligus di ilmu ekonomi syariah, sebuah program studi baru yang semoga kedepanya akan menjanjikan untuk perekonomian Indonesia bahkan dunia.

Sebelum berpisah, yuk kita bersenam bersama dengan gerakan dipimpin oleh Cornell!