Old School Me

Masih sulit melepaskan pandangan dari sebuah jam tangan baru yang dibelikan orangtua saya ketika mereka pergi berumrah gratis (iyah, sungguh mereka pasangan paling mujur sedunia). Jam tersebut berwarna hitam, sama seperti semua jam tangan saya sebelum-sebelumnya. Yang membedakan adalah jam tangan ini berat dibanding seluruh jam tangan yang pernah saya miliki sebelumnya. "Ini pasti mahal", pikirku dengan sedikit tertawa bengis ala Smeagol di film Lords of The Rings. Sebab tak pernah saya memiliki jam tangan yang terlihat 'semewah' ini. Jam tangan terakhir yang saya beli adalah sebuah jam tangan KW China bermerek Casio yang pada akhirnya mati tersiram air walaupun bertuliskan 'Water Resistant'. Dasar, kalian ras penghuni warnet dan kios handphone.

Namun saya membongkar tas dan menemukan jam tangan saya ketika SD yang masih digunakan hingga kini. Jam tangan itu sudah beberapa minggu tak bisa dikenakan lantaran patah pengaitnya. Walaupun putaran pengatur jamnya sudah bengkok, tali jamnya sudah bukan yang asli, dan bau jam tangannya pun sudah seperti ketiak berambut seorang pemuda yang tengah puber namun jam tangan tersebut sangat saya sayangi. Terbukti saya rela menebusnya hujan-hujanan dengan hanya mengenakan jaket dan celana pendek diatas pantat lantaran  uang saya untuk mengganti baterainya tidak cukup.

Momen dimana saya memegang jam tangan baru dengan yang lama membuat saya bernostalga mengingat zaman SD ketika saya pertama kali mengenakan jam tangan lama milik saya. Ketika itu saya kelas empat SD, bercelana pendek berwarna merah dan jarang saya seleting, kurus, tinggi, dan masih beranggapan bahwa Santa Claus datang melalui cerobong asap. Lubang tali yang saya pakai adalah lubang paling dekat dengan jamnya karena tangan saya yang kurus. Tangan saya yang kurus bisa saja memungkinkan saya membantu peternak sapi di seluruh tanah air melakukan inseminasi buatan terhadap sapi-sapi betinanya dengan menawarkan jasa memasukan satu tangan penuh ke alat reproduksi sapi-sapinya tanpa terjadi pemberontakan. Kelak bila itu terjadi saya akan mengganti nama FB saya menjadi 'Abdurrahman Fathony SiPenaburBenihUnggul'.

Setelah dipikirkan dengan lebih jeli, ternyata sebuah jam tangan hanyalah contoh kecil mengenai hal old school yang di kemudian hari berganti. Beruntung saya memiliki daya ingat yang tajam, terstruktur , dan tervisualisasi dengan rapih dan sudah terlatih pada kejuaraan 'Primata Pintar 2012'. Saya ingat bagaimana saya sangat mencintai sepasang sepatu adidas yang saya kenakan dari kelas empat hingga kelas enam dan pada akhirnya harus saya relakan karena hormon pertumbuhan kaki dan rambut pantat yang mengganas. Namun pada akhirnya kini saya memiliki sepatu yang cukup di kaki dan tetap dengan bau khas klan Syaukat. Saya ingat betul Motorola bodoh yang saya beli dengan uang sendiri hasil lomba harus raib oleh penghipnotis ulung yang menghipnotis saya beserta tiga teman saya yang bodoh. Pada akhirnya saya sempat memiliki handphone canggih yang bila ia menjadi seorang mahasiswa mungkin IPK-nya dapat menembus angka 3,5. Namun karena kecerobohan saya dewasa ini, handphone pintar tersebut harus berganti menjadi handphone dual sim dengan keunggulan pada senter. Saya ingat motor pertama saya yang merupakan sebuah motor Honda Revo yang saya anggap memiliki mesin yang berasal dari sebuah mesin jahit 100cc lantaran suara gemuruh yang dihasilkanya. Saya ingat bagaimana saya pernah marah diatas kuda besi tersebut karena kue yang sedianya akan saya berikan kepada ibu saya di hari ulang tahunya bucat pejret dihadapan saya karena masalah mesin. Namun pada akhirnya motor yang sempat saya namai Toruc Macto itu tergantikan oleh sebuah motor cukup kencang yang menurut kakak saya adalah sebuah 'motor bencong' karena berpenampilan ditengah-tengah motor bebek dan motor sport. Saya ingat dan saya ingat.

Tidak, saya tidak menyesali hari-hari old school saya dan seluruh aspek-aspek yang mewarnainya. Menginginkan untuk menjalaninya kembali pun rasanya berlebihan. Saya cukup untuk bisa mengingatnya dan menertawakanya, seperti ingatan bahwa dulu saya suka chatting di MiRC dengan nickname 'cO_gNteNg_9auL' ketika SMP dengan mengaku saya bersekolah di SMA Negeri 5 Bogor yang kelak memang menjadi SMA saya dan saya dibuat merasa gaul oleh nickname tersebut. Saya pun masih suka tertawa bagaimana saya masih menggunakan teknik surat-suratan untuk mendekati seseorang padahal di zaman itu handphone sudah bergelimpangan dimana-mana. 

Jam yang membawa penuh kenangan itu kembali saya simpan di tas dengan pengharapan ketika dilihat kembali masih terdapat kenangan-kenangan sisa bersamanya. Baru saja bernostalgia ria, beberapa menit kemudian terfikir dalam kepala ini untuk menjualnya di Kaskus.

Iyah, inilah hidup, kawan. Old school rocks 

Saya, Sang Penulis Keledai

Mendadak saya terbangun, membuka laman blog saya, dan mengetik. Perbuatan yang bodoh mengingat besok pagi saya akan menghadapi ujian. Namun setelah diingat kembali, posting-an saya ternyata mayoritas dibuat ketika sedang musim ujian. Pantas IPK saya masih tertahan di angka dua. Apalagi IPK saya pernah menyentuh angka fantastis berupa tiga angka yang sama, yaitu angka dua. Oh, sungguh, pengalaman itu lebih menakutkan dibanding pengalaman disunat di klinik 24 jam tanpa mengenakan celana.

Yah, IPK. Itulah momok menakutkan bagi mahasiswa. Teringat bagaimana orangtua saya menelfon saya dari Jepang, dimana ketika itu mereka tengah mengunjungi kakak saya yang menjadi TKW disana. Dengan sungguh perhatian, mereka menanyakan seluruh kabar saya di rumah. Apakah saya sudah mengunci pintu, mematikan kompor, mandi, memberi nafkah istri tetangga, hingga pada akhirnya ibu saya menanyakan suatu hal yang sangat tabu. Pertanyaan ini walaupun tidak disebutkan dalam kitab suci namun kelak akan ditanyakan malaikat pencatat amal setelah pertanyaan apa agamamu. Pertanyaan itu :

BERAPA IP KAMU?


Seketika saya menirukan suara frekuensi walkie talkie seolah ada yang rusak dengan jaringan telfon. Perlahan saya menutup telfon dengan penuh hina. Sedangkan ibu saya disebrang sanah tengah bingung. Maafkan saya Telkomsel, saya tak bermaksud memfitnah Anda.

Seperti dejavu, kini saya kembali ditinggal sendiri di rumah kali ini orangtua saya menunaikan umrah. Dan lagi, saya membuat postingan bodoh ini dalam keadaan besok ujian.


Bodoh