Seragam Bidan Milik Saya

Ketika saya bersekolah di jenjang SMA, saya menjadi siswa dengan penampilan yang amat memperihatinkan. Saya selalu menggunakan cardigan kusam yang nampak berumur dua ratus tahun namun pada kenyataanya hanya berumur dua bulan baru beli ketika itu, celana abu-abu gombrong bak celana Dono dalam film-film tahun 70'an, dan memakai kemeja SMA dengan bahan kain untuk seragam bidan. Iya, saya ulangi, bahan kain untuk seragam bidan. Ibu saya bermaksud sangat baik untuk membuatkan seragam sekolah untuk saya, maka beliau mencari bahan terbagus yang ada di toko kain. Merasa bahwa bahan kain seragam pada umumnya terlalu tipis dan dikhawatirkan saya masuk angin, beliau berinisiatif membeli bahan yang lebih tebal. Saya pribadi tidak pernah bermasalah dengan masuk angin jadi hingga sekarang pun saya masih bertanya kenapa seragam saya dibuat dengan bahan kain untuk seragam bidan. Apakah beliau khawatir bahwa khalayak dapat melihat pentil saya? Atau apakah beliau khawatir tali BH saya akan menerawang apabila saya menggunakan tali BH berwarna yang dapat dibeli di toko Strawberry? Semua itu hanyalah pertanyaan batin yang tak pantas saya pertanyakan, hanya Tuhan yang tahu.

Kini seragam bidan saya terbaring kaku dalam lemari pakaian saya. Penuh dengan debu dan kolor kekecilan melar yang sudah tidak layak pakai menutupi seragamnya. Tidak terlintas di benak saya untuk memakai seragam tersebut kembali. Namun akhirnya jiwa ini tergelitik juga untuk mengamankan seragam tersebut, menyelamatkannya dari tumpukan kolor usang. Saya angkat seragam tersebut baik-baik. Diamati seragam itu dengan seksama dan terbahak dalam hati mengingat saya sempat mengenakan seragam ini. Dan siapa yang akan mengira, ternyata di dalam kantung baju terdapat uang dua puluh ribu rupiah peninggalan saya SMA. Mungkin inilah bentuk kasih sayang-Nya sebagai pengganti masa SMA yang saya lewatkan menggunakan seragam bidan. Dua puluh ribu rupiah, itulah harga masa SMA saya bersama seragam bidan ini.